Karma Ageless Bab 1 Barang siapa ingin memplagiasi karya di dokumen ini, sudah ada jejak digitalnya! (Dimohon saling Menghargai Hak Cipta)

Karma Ageless Bab 1 Barang siapa ingin memplagiasi karya di dokumen ini, sudah ada jejak digitalnya! (Dimohon saling Menghargai Hak Cipta)


 ‘‘ Ini tidaklah mudah. Sungguh! Membuka kembali gagasan yang ‘terkutuk’ dan ambivalen. Naskah ini Pusaka tetapi juga Pandora--aib dan luka-yang menunggu kering. Tapi, mungkin memang sudah saatnya aku membuka perbannya dan menunjukkannya dengan bangga.“

‘‘Untuk diriku sendiri aku bangga kepadamu-yang telah bertahan sampai detik ini. Walaupun kau hampir berpaling dan menyerah selama dua tahun belakangan, tapi kau kembali menemukan jalan pulang.. Akan kukalungkan medali ini di lehermu..‘‘

‘‘Terimakasih kepada temanku yang baik Najma-Yang berhasil membuatku tersadar hanya dengan 1 pertanyaan--yang selalu membuatku Percaya dan bertahan akan tujuanku meskipun aku hampir melupakan dan merelakannya dan Alious..pujaan hatiku yang selalu mendukungku, dan untuk seorang teman SMA, yang sangat baik dan supportif, Fendi.. untuk kalian yang telah sangat mendukung dan terlibat menguatkan hari-hariku.. aku berterimakasih. Aku harap kalian bertigalah yang pertama kali bisa membaca dan mengoleksi novel ini di rak buku kalian nantinya..."

"Aku ingin meminta maaf kepada bapak dan Mama.. karena aku selalu sibuk dengan pikiranku dan aku melewatkan banyak sesi pengajian di Pondok… Maafkan aku atas keras kepalaku karena terlalu sibuk dengan duniaku dari pada mengurus bisnis dan membuka toko online… Aku sayang kalian.. 

Doa dan harapan kalian adalah jimat keberuntunganku selama ini..

Untuk masa lalu aku sangat berterima kasih…"


Mimpi ke -12 dan Pertemuan Pertama


Eridug, hari ke-27, MuÅ¡uk-KeÅ¡da, (6075 SM) 


(Sedangkan Istilah Asli untuk tahun baru sering disebut ‘Nisag’ di Sumeria Kuno)

(Eridug atau Eridu termasuk salah satu kota terawal di Sumeria Kuno, kemungkinan sekarang berlokasi di Abu Shahrein, Irak Modern) 




Semula semuanya terdengar samar dan remang-remang, tapi suara-suara itu semakin kuat dan menusuk telinga. Hiruk-pikuk yang sibuk, seolah berada di tengah-tengah pasar. Malam itu rasanya jasad dan jiwaku terperangkap di ‘ruang‘ yang benar-benar sungguh asing bagiku. Kakiku tersengat oleh sensasi dingin, bahkan efeknya masih mampu kurasakan seminggu kemudian. Suatu pengalaman yang sangat aneh dan sulit terlupakan--karena aku masih mengenakan piamaku lalu sekonyong-konyong batuan lantai jasper kemerahan secara ajaib menghampar di hadapanku, dan aku juga memeluk buku catatan unguku lengkap dengan bolpoin. Jadi, Ya! Tentu saja aku mencatat semuanya. 

Aku mengedarkan pandang berusaha membiasakan penglihatanku, suara riuh itu masih terdengar dari balik pintu gerbang berlapis perunggu dan logam mulia berarsitektur rumit dan mencolok di belakangku. Terpampang lukisan sepasang singa bersayap berkepala manusia yang mencengkram sebuah obor dengan lilitan spiral bercorak kufi, masing-masingnya terletak di sayap gerbang kanan dan kiri.

Akupun mulai mengkaji dengan seksama hal-hal yang ada di sekelilingku, mencicipinya dengan jari jemariku, Semuanya bertekstur dan terasa nyata. 

Mulai dari dinding-dinding terbuat dari bata lumpur kemerahan yang dihias berbagai macam pola geometris. Pilar-pilar marmer raksasa bercorak floral kurma dan dedaunan palma, sampai gambar sepasang domba saling mengaitkan tanduknya yang hitam melengkung, dengan biru bulkat sebagai warna kulitnya. Meskipun catnya sudah terlihat kusam dan pudar.

Jendela-jendela di ruangan itu terbuat dari intan bening. Ada total lima jendela berbentuk lingkaran dengan ukuran yang random, ukuran paling besar di tengah dan yang sedang di atasnya. Ada juga tiga buah lingkaran yang kecil, walau didesain dengan ukuran acak --hal itu tetap mampu menghasilkan kesan estetika. Jendela lingkaran yang paling besar diisi dengan pola mozaik yang membentuk sebuah lukisan wanita cantik, dilukis dari proporsi samping mengenakan anting-anting bulat seukuran lencana dan hiasan kepala rumit yang berlapis. Sedangkan, salah satu dinding di sebelah barat terbuat dari batuan kristal serta ornamen batuan lainnya seperti safir, zamrud, rubi, topaz, calistine dan ametis. Perpaduan dari batu berwarna-warni itu membentuk objek yang menajubkan serupa matahari. 

Terlihat juga ranjang yang dibuat agak tinggi dari kayu, cukup 

kontras dengan desain dan coraknya yang mencolok dengan beragam lukisan dan pola, berkelambu sutra dan berjumbai perak-keemasan. Keempat kaki ranjangnya berbentuk cakar singa yang dilapisi logam mulia. Ruangan itu setara dengan luas aula auditorium rapat kenegaraan.

“Gu-la bisakah kau memerintahkan mereka agar jangan berisik!” 

Gendang telingaku bergetar, terdengar teriakan seorang gadis yang amat kesal. Tapi dengan janggal aku merasa akrab dan familiar dengan suaranya. Beberapa ‘Rudal bantal‘ melayang dan melesat ke arahku, aku merunduk dan melompat menghindarinya bereaksi tepat waktu. 

“B-baik En-Ku-Zi“ (Tuan Yang Murni)       

suara laki-laki menyahut dari balik pintu terdengar bergetar akibat gertakan gadis itu.

“Tuan Yang Murni Zagin-Min Anneyra dan Edin, Salehi-dar (Putra/Keturunan Salehi) yang tangkas memasuki ruangan!” Begitu pengumuman kehadiran dibacakan dengan lantang. Dua sayap pintu terdorong dan perlahan membuka di belakangku, aku menyingkir dari jalan dan bersembunyi di belakang sayap pintu sebelah kanan sebelum pintu terbuka sempurna. Cemas mereka terusik dan terganggu oleh kehadiranku ‘orang asing’ yang tiba-tiba muncul di ruangan privat. Tidak lucu ‘kan? 

Kedua laki- laki yang tampak sebagai penjaga dengan tombaknya membungkuk hormat. Aku mengintip dan mengamati gerak-gerik mereka. Seorang gadis belia berusia belasan namun tampak begitu berwibawa, rambut peraknya sepinggul dijalinkan ke satu bahu, dengan ikat rambut spiral menawan keemasan. Gaun lajuran kaftan dari linen berwarna putih gading, sabuk kain sebiru lazuli berornamen manik-manik obsidian dan emas. Dari sabuknya saja aku sudah bisa menerka seberapa tinggi pangkat gadis itu, warna biru—apalagi sebiru lazuli sejak dahulu adalah warna yang paling langka, itulah yang membuatnya ‘ningrat‘.

Adapun Sepasang anting kerucut spiral, kalung emas dan obsidian yang berlapis-lapis menutupi dada, gelang-gelang berlapis yang serasi dengan kalungnya, Namun, kontras dengan kulitnya yang pucat berseri selayaknya purnama. Hanya semakin menambah aura keagungan gadis belia itu.

Seorang pemuda jakung dengan wajah yang tegas serta sorot mata yang tajam mengekor di belakangnya. Aku tidak bisa menebak umur pastinya, namun pemuda itu terlihat berkisar lima belas sampai tujuh belas tahunan. Tubuhnya dililit kain mirip toga seputih tulang yang dijerat sabuk kain sewarna batu bata dengan ornamen emas. Sedangkan bawahannya mengenakan rok panjang berpola dan berjumbai-jumbai menutupi betis (Kaunakes)

Lengannya sampai bawah sikut di lilit dengan aksesori yang sepertinya terbuat dari surai atau bulu hewan berwarna gelap, kalungnya semerah carnelian berlapis-lapis menjuntai sampai perut, Sementara rambut peraknya terurai lurus sampai ke bahu. 

Suatu kejadian sial karena sesaat rasanya mata kami bertemu. Refleks, aku berpaling terkulai pasrah. Menelaah kemungkinan ia telah memergokiku. Kakiku tak sengaja menyenggol gerabah lilin tanah liat yang diletakan di sudut pintu hingga pecah.

Aku membungkam mulutku sendiri untuk memperlambat nafasku. Hanya irama jantungku dan suara gemerincing gelang kaki yang terdengar semakin mendekat. Aku pasrah dan menelungkupkan kepalaku dalam-dalam menutupi wajahku. Dari celah jemariku, aku bisa melihat sepasang kaki bergelang: Berdiri lama seolah menganalisa, sebelum akhirnya berjongkok mengumpulkan kepingan gerabah dan lilin yang berserakan. Anehnya, ia melakukannya dengan sangat tenang: Tidak ada teriakan atau cercaan penghakiman. Akupun tak kuat lagi dan hampir kehabisan nafas. Terlihat Orang berambut perak lurus sebahu yang tengah fokus mengumpulkan pecahan kendi di hadapanku ketika kudongakan kepala mengambil nafas. Pria jakung tadi! Aku menatapnya lama, ada sebuah intensitas yang tak mampu kujelaskan tentangnya. Selesai dengan kepingan terakhir, pria itu pun balas menatapku lama. Matanya memicing, seolah menelisik dan mencari-cari sesuatu. Gesturnya itu kelewat aneh, sehingga kuberanikan diri mendekat dan menatap pupilnya yang berwarna pirus kecokelatan. keduanya tak kunjung membesar atau terkejut.

Tidak ada Refleksiku!