Special Reliased: Karma Bagian Dua: Gondrong dan Manis

Special Reliased: Karma Bagian Dua: Gondrong dan Manis

Image: Dwingga & Tedvia

 

 Selayaknya anak kecil yang tak pernah tumbuh, kenaifanku selalu menuntunku pada kesalahan, membuatku selalu ceroboh dan melupakan hal sepele yang penting. Ada beberapa peraturan yang perlu kau waspadai kala kau berusaha lari dari musuh yang mencoba memangsamu, dan kau tidak boleh gagal melakukannya. Karena ini sebuah momentum yang mempertaruhkan nyawamu:

1.    1. Perhatikanlah pijakanmu, Jangan sampai kau terpeleset dan terjatuh.

2.     2. Berhati-hatilah pada perangkap singa, setelah kau lolos dari perangkap harimau.

3.     3. Jangan memakai high-heelsmu ketika kau mencoba lari dari musuh.


Dan sialnya, aku mengabaikan peraturan itu. Jadi aku harus menerima konsekuensiku. aku memejamkan mataku pasrah selepas beberapa detik memandangi kertas-kertas yang berhamburan ke udara sampai akhirnya kembali jatuh ke lantai-menyiapkan mental, hati dan pikiran atas segala skenario terburuk yang patut kuterima, dan tentu saja aku juga harus siap merasakan sakit-kala tubuhku atau kepalaku nantinya remuk membentur lantai. Setidaknya itu bisa benar-benar meakhiri penderitaanku, jikalau itu memang terjadi pada kepalaku. Setidaknya aku berdo’a.


…itu yang akan benar-benar terjadi.


“AKU MENANGKAPMU!!”


Namun, semua harapan dan spekulasiku akhirnya dikacaukan oleh teriakan seseorang yang serak, terengah-engah, yang menusuk tepat ke gendang telingaku. Aku membuka mata dan… duar!


 Sekarang sosok seorang pria asing setengah melotot sedang memandangiku. Aku bahkan bisa merasakan nafasnya yang menderu tidak teratur, seolah-olah ia sangat takut sesuatu yang buruk terjadi padaku.


Aku balas melotot mengerutkan dahi heran terhadapnya, bersamaan aku beranjak berdiri. Ia mulai mengendorkan cengkraman tangannya dari pinggangku lalu perlahan melepaskannya-tanpa mengalihkan tatapannya sejengkalpun terhadapku.

 

Dia…

Dari mana orang asing ini datang, dan bagaimana bisa ia terlihat sepeduli itu?

Atau..

 apakah kita saling mengenal sebelumnya?

Mengapa aku bisa merasa sefamiliar ini terhadapnya?

 Dan entah mengapa ini terlalu sulit dijelaskan, sampai-sampai membuatku merasa mual.

“ M-maaf, a-apa aku mengenalmu? Apa kakimu terkilir/

“Bodoh!”


Sial aku rasa Seberapapun kerasnya aku berusaha menahan kata itu agar tak meluncur ke otakku dan terjun bebas dari mulutku hingga akhirnya menjadi kebiasaan yang buruk, semuanya akan tetap sia-sia. Karena mereka akan terus mencari jalannya sendiri.


“Apa  kau bilang?!” Pria gondrong berkaos oblong itu tertawa parau. “kau tidak lihat, aku telah menyelamatkanmu. Kau hampir tergelincir tadi. Kaulah yang menabraku duluan”.  Tadi kau berlari.. lari.. sangat cepat, meliuk lalu terpleset oleh sepatu higheelsmu, hingga kau menabraku!"


Aku membiru menelan ludahku sendiri, kurasa sangat tak bijaksana memulai pertengkaran dengan seseorang yang baru kutemui kala ia bahkan berasumsi sebagai penyelamatku.


Aku berdehem sejenak lalu menunduk di hadapannya, sebisa mungkin menunjukan rasa terima kasihku. “Maaf! Aku mengatai diriku sendiri”, terima kasih telah menyelamatkanku."


Lagipula orang asing tak perlu tahu masalahku.

“apa? Mengapa kau membodoh-bodohkan dirimu sendiri?!”

 

Respons selanjutnya luar biasa nan mengejutkan, karena pria itu malah membelalak dengan penuh empati memandangiku.


Ia tersenyum lembut padaku, membuat betapapun usahaku agar bersikap dingin dan mengacuhkannya jadi sia-sia. Mengapa? Lagi pula pria asing ini tidak berhak mengetahui apapun tentangku, dan aku tak ingin berlama-lama hingga akhirnya dia  mengintrogasiku.


Namun sekuel selanjutnya selalu di luar dugaan, ia sontak menggeleng dan masih terus saja tersenyum ganjil bersamaan tangannya mulai merapikan kekacauan yang telah kuperbuat. Ia terlihat mencari-cari sesuatu mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu memungut sebuah papan besar yang terlempar cukup jauh dari tempat kami berdiri.  Ia mulai dengan lihai mengambil beberapa kertas dan meletakannya ke atas papan. Aku yang melihat usahanya pun berusaha mempertahankan sisi empatik dan kesantunanku. Aku memungut beberapa kertas dan menyadari sesuatu bahwa ternyata itu merupakan potongan-potongan peta sebuah wilayah.

Apakah ini semacam kolase?

 

Aku membatin dalam hening, berjongkok mendekati laki-laki itu. Ia tampak serius sekali berusaha menyusun potongan-potongan kertas itu hingga dia mengabaikanku. Merasa tak tahan dengan objek yang kulihat, akhirnya otakku turut berpartisipasi berusaha memecahkan teka-teki itu. Aku mengamati benda itu dari ujung kiri ke kanan, atas ke bawah, mulai menganalisis akan segala kemungkinan kolerasi yang paling logis. Bagian tengah papan telah terisi oleh beberapa bidang wilayah. Sebagian kecil wilayah berwarna kuning kecoklatan dengan garis hijau melengkung di atasnya diawali oleh huruf S dan Y, laut kematian di barat dan Irak di timur, lalu ujungnya melancip ke bagian bawah berindikasikan sebuah wilayah yang berawalan kata ‘Sau’. Turki di barat laut. Sedangkan wilayah lainnya masih kosong. Bukannya wilayah itu berdektan dengan Mediterania….?


Detik demi detik otakku selalu berjalan. Mengirimkan sinyal tentang abstraksi-abstraksi visual dan menyusunnya, mencari-cari gambaran yang familiar, sampai akhirnya menemukannya. Semuanya bekerja begitu cepat dan mudah di otakku, akibat kebiasaan. Tanganku pun mulai mengimbangi kecepatan pikiranku. Dalam beberapa saat aku bisa bersyukur, karena merangkai peta sepele seperti ini sensasinya sama dengan liburan masa tegang beberapa bulan setelah lulus.

“…WHOAA!!”

Seharusnya aku juga tak berharap banyak, karena ketenanganku tak akan pernah bertahan lama. Dihantam oleh hingar-bingar pria over antusias di sisiku.


Bagaimana tidak, ia terus membelalak dan berteriak ke telingaku hampir-hampir membuatku tuli. Spontan, tak ada lagi yang patut kulakukan kecuali menamparnya lumayan keras, berharap hal itu bisa memulihkan kewarasannya yang sempat hilang.

“maaf!”

“Apa mungkin kau itu cicitnya Ibnu batutah[1]? Jenius Geografi yang mampu merangkai kolase peta hanya dalam beberapa menit!?” Pria itu justru tak menghiraukanku, ia mengerjap-ngerjapkan matanya, menatap layar handphone, menatap peta kemudian wajahku berulng kali. Sampai-sampai membuatku bingung sendiri, harus tertawa sombong penuh kebanggaan atau justru bergidik ngeri karena tingkahnya. “Woooow!! whahahahaaaa! Bagaimana bisa?! Ini sama persis!” bahkan sejauh ini rekor waktu tercepat yang pernah kuhabiskan adalah 15 menit”.

Aku menggeleng, menghela nafas panjang.


“Itu tak sesulit yang kau pikirkan, dan tak ada yang spesial.” Aku hanya mampu melakukannya dengan banyak latihan.” Ini peta wilayah Mesopotamia, dan wilayahnya masih sangat sederhana.” Aku yakin kau juga bakal bisa menyusunnya dengan mengedintifikasi dan memahami  warnanya. ”Warna hijau di peta berarti wilayah subur, sedang putih tulang sampai kuning kecokelatan mempresentasikan wilayah gurun.” Wilayah-wilayah yang subur cenderung dialiri Sungai-sungai sebagai suplai air utama”. Lingkungan seperti ini sangat menguntungkan bagi populasi Masyarakat untuk membuka pemukiman, lahan pertanian, berternak sampai dimanfaatkan untuk jalur lintas perdagangan,” Sungai-sungai tersebut tentunya memiliki wilayah hulu atau sumbernya yang umumnya terletak di wilayah-wilayah pegunungan”.  Kubiarkan jari-jariku menjadi pemandu menelusuri wilayah-wilayah yang signifikan pada peta, sebelum akhirnya berhenti di sebuah titik kursial, Pegunungan Taurus di sebelah utara.


“dan setiap Sungai akan selalu memiliki muaranya, entah itu mengalir ke laut, danau, maupun teluk”. Kini jariku menelusuri salah satu garis sejajar yang membentang dan berhenti pada sebuah titik di Selatan, Teluk Persia. Jadi kau hanya perlu memperhatikan tanda-tanda geografisnya dengan seksama”. Pria itu tampak begitu  serius menaruh perhatian, jadi aku memutuskan melanjutkan penjelasan.

 

“Hal serupa juga terjadi pada deretan panjang Sungai Nil, anak sungainya bermula di Jinja, Danau Victoria, meski kemungkinan kebenarannya masih banyak diperdebatkan dan hilirnya bermuara ke Laut Mediterania yang ada di sebelah timur la/


“Aku mengerti! jadi singkatnya..” pria itu mengerutkan dahinya sesaat, tampak berpikir. “Sungai Eufrat dan Tigris yang mengapit Mesopotamia bermula dari pegunungan Taurus di wilayah Anatolia dan Turki, ia terus mengalir membuat daerah-daerah yang dilaluinya subur dan penuh potensi[2], sebelum akhirnya bermuara ke Teluk Persia?”


Pria itu menelusuri ulang wilayah-wilayah pada peta dengan jemarinya, dengan cekatan mengulangi materi pembelajaranku. Refleks aku membalasnya dengan senyum dan anggukkan, meskipun itu berarti aku terpaksa menggigit bibir setelahnya karena telah menunjukkan emosiku. Namun layaknya kata pepatatah, airpun perlahan-lahan mampu mengikis sebongkah batu, orang dihadapanku ini selalu saja tersenyum-menyipitkan matanya dan membalasku dengan tulus.

“Hei.. aku rasa kau cukup pintar, siapa namamu?”

“A-apa?”

Pertanyaannya yang mendadak, menembus ruang pikiranku.


“kau mengatai dirimu sendiri bodoh sejak awal, namun kurasa tidak. Justru kau cukup keren dan cakap untuk remaja seusiamu”. Ia menyunggingkan senyum lalu melirik ke arah peta. “yang berhasil merangkai peta dalam hitungan menit”.


Aku hanya terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana saat mendengar pengakuan yang keluar dari mulut orang asing, ketika orang yang bahkan sangat kau perhatikan dan perjuangkan dahulu tak pernah mengakui kau ada. Sejenak, ia telah menjinakkan rasa tak amanku.


“ahhhh! aku tahu rasanya aneh setelah kebersamaan kita, aku malah baru menanyakan namamu, bodohnya aku!” Ia terlihat semakin menggeli, pipinya agak mengembung menahan tawa sebelum akhirnya melanjutkan.

“…kau bahkan sempat menamparku tadi?”

Pria itu melirikku dengan ganjil sambil tersenyum.

 Dan itu berhasil menusukku!


Mataku pun membelalak, dalam hitungan detik aku memalingkan wajah dan menelan ludahku sendiri, nyaris bersamaan aku berdiri. Tepat seperkian detik sebelum aku bisa melihat senyumannya yang akan menyilaukan dunia dan membuatku kepanasan sehingga darahku akan mendidih dan akhirnya menguap naik ke pipiku, membuatnya terbakar. Refleks ia mengikutiku berdiri dengan gelagat yang semakin penasaran. Akupun berdehem kecil berusaha menata romanku senormal mungkin sebelum balas menatapnya.

“Tedvia”

Aku rasa sebuah nama takan berarti apa-apa.


“kurasa itu nama yang bagus, kau bahkan mampu berjongkok lama ketika memakai high-heelsmu, wahahahaaaa” ia tertawa ringan, menguarkan reaksi yang ternyata meski perlahan, mampu melemahkan pertahananku, orang ini seolah selalu lihai dalam menemukan kesempurnaan di balik setiap aspek yang konyol tentang diriku.


“Salken namaku Dwingga”. Mendadak tangannya yang terasa hangat dan agak kasar meraih dan meremas tanganku, sehingga aku melihat beberapa urat nadinya yang muncul dari balik kulitnya yang terang. “Lalu berapa usiamu?”


Akupun menghela nafas lemah dan meringis dalam hati, menyadari sesuatu. Aku mempunyai firasat bahwa orang ini akhirnya berhasil menarikku ke jebakannya, dan sekarang ia akan mulai mengintrogasiku, mencoba menggeledahku. Seberapapun rapatnya aku mencoba menutup diri.


“Oh.. baiklah… rupanya kau tidak mau menjawab, jadi.. aku akan mencoba menebaknya”. Pria itu mengerutkan keningnya, memandangi langit-langit sesaat. “..tujuh belas?”


Sontak, akupun melotot setengah heran mendengar akurasi tebakannya.

“Bagaimana kau…?/


“Lihat! Aku yang maha siswa saja bahkan kalah dengan siswi SMA!” Omong-omong aku memang berbakat menebak umur seseorang”. Pria itu mencondongkan tubuhnya berbisik ke telingaku, dan menyunggingkan senyum iseng.


“Dengar, aku memang tak tahu apapun mengenai masalahmu, tapi.. kau tak sebodoh yang kau pikirkan, dan orang lain bilang,” kau mungkin sedang terjebak dalam kebingungan besar sampai-sampai kau mengecap dirimu sangat bodoh, tapi itu tak benar “.Kau selalu bisa membuktikan bahwa mereka salah.” jadi, berhentilah meremehkan dirimu sendiri”.

Aku senewen, rasanya seperti nafasku tiba-tiba terhenti di tengah kerongkongan, dan mataku hampir copot saking terkejutnya. Entah mengapa pria asing di hadapanku ini begitu lihai membacaku sampai-sampai keluar nalar dan membuatku merinding. Seperkian detik saja kata-katanya mampu menyasar dan menembus ulu hatiku. Aku pun mengambil beberapa langkah mundur darinya, menunduk dan membuang muka sungguh berharap ia tak akan mampu lagi membacaku.


Namun, ia tak membiarkanku begitu saja. Pria itu terus mendekat, seolah mencari celah agar bisa membacaku dan menatap lebih dalam ke dalam mataku. Sekarang wajah kami begitu dekat, sehingga aku mampu melihat detail wajahnya, ada sebuah tahi lalat mungil di hidungnya yang mancung, dan senyumannya muram penuh empatik menatapku. Sekarang satu tangan tangkasnya yang agak berbulu merengkuh pundakku membuat pertahananku terjaga secara tiba-tiba, “maaf, aku harus pergi/


“kau tak perlu takut padaku,” karena aku tak akan pernah menyakitimu”. Ia mendongakkan wajahku dengan telunjuknya, memaksaku menatap ke dalam matanya.  Kembali meruntuhkan tembok yang kubangun seketika, sebelum akhirnya ia kembali mengambil jarak dan mulai membelakangiku. “ini mungkin akan jadi kurang sopan atau terkesan sok tahu karena kita baru pertama kali bertemu. Tapi.. sebenarnya aku sempat mengamatimu beberapa menit sebelum akhirnya kau tergelincir dan menabrakku tadi, kau tidak tampak sedang mengejar sesuatu, justru kau seolah berusaha lari dari sesuatu-sesuatu yang mungkin selama ini memburumu. “kau tampak begitu bingung dan kesulitan menentukan arah tujuan atau pelarianmu, kau hanya terus berlari dan kau merasa bodoh akan hal itu”.


Pria itu akhirnya menengok ke belakang dan meliriku dari pundaknya. Ia menghela nafas berat karena mendapati romanku yang semakin abu-abu, sebelum ia berbalik seutuhnya. Menatapku dengan ragu sesaat, mengira inilah saatnya ia berhenti. Dia tak harus meneruskan percakapan ini, dan aku tak kuasa lagi menahan dan terus menghiraukannya. Jadi aku pun memberanikan diri menatapnya meskipun dengan air mata yang hampir menetes, dan memberinya sedikit anggukan, sebagai sinyal bahwa aku telah mengizinkannya. Tak ada lagi yang perlu kusembunyikan sekarang, pria ini telah tahu segalanya bahkan sejak pertama kali melihatku. Ia pun terdiam sejenak dan berdehem kecil sebelum akhirnya melanjutkan pembicaraannya.


“..hingga di saat kau menabrakku, Saat pertama kau tersadar, kau menatapku lama tapi kau tak langsung memulai pembicaraan, sebaliknya kau membuang wajahmu-kau menunduk tapi tatapanmu berkeliaran kemana-mana, seolah kau merasa tak aman”.

Laki-laki itu terdiam sejenak, menghela nafasnya. Sebelum akhirnya kembali berucap.


….”dan,  kau melukai dirimu sendiri” sekarang ia terlihat melirik sesuatu ke sudut, ke tanganku-tanganku yang berdarah. Ia pasti memperhatikannya saat menyalamiku tadi dan seberapapun aku ingin mengumpat, semua itu akan sia-sia.


..Apa lagi alasan yang harus kugunakan untuk menyangkalnya sekarang?


Dikala penjelasan yang hampir-hampir tak masuk akal, namun benar itu telah melemahkan dan merontokan sendiku perlahan lewat setiap frasanya. Rasanya hampir tak mampu percaya dan terlalu menghayal bisa bertemu seseorang yang begitu peka dan lihai dalam membacaku, tanpa perlu berucap, bahkan sejak pertama kali bertemu.

..Apa dia peramal?

 

Tidak tedvia, Jangan konyol! gunakanlah kewarasanmu.

…Barang kali anak psikologi memang sehebat itu

 

Mendadak, pria di hadapanku itu tertawa. “whahaaa, mungkin tepatnya aku memang belajar psikologi bisnis”.

 

APAAAA??!!

 

Seketika bulu kudukku berdiri, dihantam oleh situasi di hadapanku. Tak ada penjelasan lebih lanjut yang mau mengalir ke otakku, kecuali…                

 

 

 

 

 

 

….dia bisa membaca pikiran seseorang! dia benar-benar seorang peramal???


If you like this content, and want to support me, you can Trakteer me👇

                                     https://trakteer.id/deftan

 

 

 



Foot note: [1] Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Batutah adalah seorang alim (cendekiawan) Maroko yang pernah berkelana ke berbagai pelosok dunia pada abad pertengahan. Selain itu ia juga ahli dalam Geografi Islam.

 

[2] Manusia cenderung memulai peradaban dan membangun pemukimannya di daerah-daerah yang berdekatan dengan sumber air, karena lahannya yang gembur dan berpotensi besar untuk dimanfaatkan bercocok tanam, berternak maupun berdagang.