Special Reliased: Karma Bagian Dua: Gondrong dan Manis

Special Reliased: Karma Bagian Dua: Gondrong dan Manis

Image: Dwingga & Tedvia

 

 Selayaknya anak kecil yang tak pernah tumbuh, kenaifanku selalu menuntunku pada kesalahan, membuatku selalu ceroboh dan melupakan hal sepele yang penting. Ada beberapa peraturan yang perlu kau waspadai kala kau berusaha lari dari musuh yang mencoba memangsamu, dan kau tidak boleh gagal melakukannya. Karena ini sebuah momentum yang mempertaruhkan nyawamu:

1.    1. Perhatikanlah pijakanmu, Jangan sampai kau terpeleset dan terjatuh.

2.     2. Berhati-hatilah pada perangkap singa, setelah kau lolos dari perangkap harimau.

3.     3. Jangan memakai high-heelsmu ketika kau mencoba lari dari musuh.


Dan sialnya, aku mengabaikan peraturan itu. Jadi aku harus menerima konsekuensiku. aku memejamkan mataku pasrah selepas beberapa detik memandangi kertas-kertas yang berhamburan ke udara sampai akhirnya kembali jatuh ke lantai-menyiapkan mental, hati dan pikiran atas segala skenario terburuk yang patut kuterima, dan tentu saja aku juga harus siap merasakan sakit-kala tubuhku atau kepalaku nantinya remuk membentur lantai. Setidaknya itu bisa benar-benar meakhiri penderitaanku, jikalau itu memang terjadi pada kepalaku. Setidaknya aku berdo’a.


…itu yang akan benar-benar terjadi.


“AKU MENANGKAPMU!!”


Namun, semua harapan dan spekulasiku akhirnya dikacaukan oleh teriakan seseorang yang serak, terengah-engah, yang menusuk tepat ke gendang telingaku. Aku membuka mata dan… duar!


 Sekarang sosok seorang pria asing setengah melotot sedang memandangiku. Aku bahkan bisa merasakan nafasnya yang menderu tidak teratur, seolah-olah ia sangat takut sesuatu yang buruk terjadi padaku.


Aku balas melotot mengerutkan dahi heran terhadapnya, bersamaan aku beranjak berdiri. Ia mulai mengendorkan cengkraman tangannya dari pinggangku lalu perlahan melepaskannya-tanpa mengalihkan tatapannya sejengkalpun terhadapku.

 

Dia…

Dari mana orang asing ini datang, dan bagaimana bisa ia terlihat sepeduli itu?

Atau..

 apakah kita saling mengenal sebelumnya?

Mengapa aku bisa merasa sefamiliar ini terhadapnya?

 Dan entah mengapa ini terlalu sulit dijelaskan, sampai-sampai membuatku merasa mual.

“ M-maaf, a-apa aku mengenalmu? Apa kakimu terkilir/

“Bodoh!”


Sial aku rasa Seberapapun kerasnya aku berusaha menahan kata itu agar tak meluncur ke otakku dan terjun bebas dari mulutku hingga akhirnya menjadi kebiasaan yang buruk, semuanya akan tetap sia-sia. Karena mereka akan terus mencari jalannya sendiri.


“Apa  kau bilang?!” Pria gondrong berkaos oblong itu tertawa parau. “kau tidak lihat, aku telah menyelamatkanmu. Kau hampir tergelincir tadi. Kaulah yang menabraku duluan”.  Tadi kau berlari.. lari.. sangat cepat, meliuk lalu terpleset oleh sepatu higheelsmu, hingga kau menabraku!"


Aku membiru menelan ludahku sendiri, kurasa sangat tak bijaksana memulai pertengkaran dengan seseorang yang baru kutemui kala ia bahkan berasumsi sebagai penyelamatku.


Aku berdehem sejenak lalu menunduk di hadapannya, sebisa mungkin menunjukan rasa terima kasihku. “Maaf! Aku mengatai diriku sendiri”, terima kasih telah menyelamatkanku."


Lagipula orang asing tak perlu tahu masalahku.

“apa? Mengapa kau membodoh-bodohkan dirimu sendiri?!”

 

Respons selanjutnya luar biasa nan mengejutkan, karena pria itu malah membelalak dengan penuh empati memandangiku.


Ia tersenyum lembut padaku, membuat betapapun usahaku agar bersikap dingin dan mengacuhkannya jadi sia-sia. Mengapa? Lagi pula pria asing ini tidak berhak mengetahui apapun tentangku, dan aku tak ingin berlama-lama hingga akhirnya dia  mengintrogasiku.


Namun sekuel selanjutnya selalu di luar dugaan, ia sontak menggeleng dan masih terus saja tersenyum ganjil bersamaan tangannya mulai merapikan kekacauan yang telah kuperbuat. Ia terlihat mencari-cari sesuatu mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu memungut sebuah papan besar yang terlempar cukup jauh dari tempat kami berdiri.  Ia mulai dengan lihai mengambil beberapa kertas dan meletakannya ke atas papan. Aku yang melihat usahanya pun berusaha mempertahankan sisi empatik dan kesantunanku. Aku memungut beberapa kertas dan menyadari sesuatu bahwa ternyata itu merupakan potongan-potongan peta sebuah wilayah.

Apakah ini semacam kolase?

 

Aku membatin dalam hening, berjongkok mendekati laki-laki itu. Ia tampak serius sekali berusaha menyusun potongan-potongan kertas itu hingga dia mengabaikanku. Merasa tak tahan dengan objek yang kulihat, akhirnya otakku turut berpartisipasi berusaha memecahkan teka-teki itu. Aku mengamati benda itu dari ujung kiri ke kanan, atas ke bawah, mulai menganalisis akan segala kemungkinan kolerasi yang paling logis. Bagian tengah papan telah terisi oleh beberapa bidang wilayah. Sebagian kecil wilayah berwarna kuning kecoklatan dengan garis hijau melengkung di atasnya diawali oleh huruf S dan Y, laut kematian di barat dan Irak di timur, lalu ujungnya melancip ke bagian bawah berindikasikan sebuah wilayah yang berawalan kata ‘Sau’. Turki di barat laut. Sedangkan wilayah lainnya masih kosong. Bukannya wilayah itu berdektan dengan Mediterania….?


Detik demi detik otakku selalu berjalan. Mengirimkan sinyal tentang abstraksi-abstraksi visual dan menyusunnya, mencari-cari gambaran yang familiar, sampai akhirnya menemukannya. Semuanya bekerja begitu cepat dan mudah di otakku, akibat kebiasaan. Tanganku pun mulai mengimbangi kecepatan pikiranku. Dalam beberapa saat aku bisa bersyukur, karena merangkai peta sepele seperti ini sensasinya sama dengan liburan masa tegang beberapa bulan setelah lulus.

“…WHOAA!!”

Seharusnya aku juga tak berharap banyak, karena ketenanganku tak akan pernah bertahan lama. Dihantam oleh hingar-bingar pria over antusias di sisiku.


Bagaimana tidak, ia terus membelalak dan berteriak ke telingaku hampir-hampir membuatku tuli. Spontan, tak ada lagi yang patut kulakukan kecuali menamparnya lumayan keras, berharap hal itu bisa memulihkan kewarasannya yang sempat hilang.

“maaf!”

“Apa mungkin kau itu cicitnya Ibnu batutah[1]? Jenius Geografi yang mampu merangkai kolase peta hanya dalam beberapa menit!?” Pria itu justru tak menghiraukanku, ia mengerjap-ngerjapkan matanya, menatap layar handphone, menatap peta kemudian wajahku berulng kali. Sampai-sampai membuatku bingung sendiri, harus tertawa sombong penuh kebanggaan atau justru bergidik ngeri karena tingkahnya. “Woooow!! whahahahaaaa! Bagaimana bisa?! Ini sama persis!” bahkan sejauh ini rekor waktu tercepat yang pernah kuhabiskan adalah 15 menit”.

Aku menggeleng, menghela nafas panjang.


“Itu tak sesulit yang kau pikirkan, dan tak ada yang spesial.” Aku hanya mampu melakukannya dengan banyak latihan.” Ini peta wilayah Mesopotamia, dan wilayahnya masih sangat sederhana.” Aku yakin kau juga bakal bisa menyusunnya dengan mengedintifikasi dan memahami  warnanya. ”Warna hijau di peta berarti wilayah subur, sedang putih tulang sampai kuning kecokelatan mempresentasikan wilayah gurun.” Wilayah-wilayah yang subur cenderung dialiri Sungai-sungai sebagai suplai air utama”. Lingkungan seperti ini sangat menguntungkan bagi populasi Masyarakat untuk membuka pemukiman, lahan pertanian, berternak sampai dimanfaatkan untuk jalur lintas perdagangan,” Sungai-sungai tersebut tentunya memiliki wilayah hulu atau sumbernya yang umumnya terletak di wilayah-wilayah pegunungan”.  Kubiarkan jari-jariku menjadi pemandu menelusuri wilayah-wilayah yang signifikan pada peta, sebelum akhirnya berhenti di sebuah titik kursial, Pegunungan Taurus di sebelah utara.


“dan setiap Sungai akan selalu memiliki muaranya, entah itu mengalir ke laut, danau, maupun teluk”. Kini jariku menelusuri salah satu garis sejajar yang membentang dan berhenti pada sebuah titik di Selatan, Teluk Persia. Jadi kau hanya perlu memperhatikan tanda-tanda geografisnya dengan seksama”. Pria itu tampak begitu  serius menaruh perhatian, jadi aku memutuskan melanjutkan penjelasan.

 

“Hal serupa juga terjadi pada deretan panjang Sungai Nil, anak sungainya bermula di Jinja, Danau Victoria, meski kemungkinan kebenarannya masih banyak diperdebatkan dan hilirnya bermuara ke Laut Mediterania yang ada di sebelah timur la/


“Aku mengerti! jadi singkatnya..” pria itu mengerutkan dahinya sesaat, tampak berpikir. “Sungai Eufrat dan Tigris yang mengapit Mesopotamia bermula dari pegunungan Taurus di wilayah Anatolia dan Turki, ia terus mengalir membuat daerah-daerah yang dilaluinya subur dan penuh potensi[2], sebelum akhirnya bermuara ke Teluk Persia?”


Pria itu menelusuri ulang wilayah-wilayah pada peta dengan jemarinya, dengan cekatan mengulangi materi pembelajaranku. Refleks aku membalasnya dengan senyum dan anggukkan, meskipun itu berarti aku terpaksa menggigit bibir setelahnya karena telah menunjukkan emosiku. Namun layaknya kata pepatatah, airpun perlahan-lahan mampu mengikis sebongkah batu, orang dihadapanku ini selalu saja tersenyum-menyipitkan matanya dan membalasku dengan tulus.

“Hei.. aku rasa kau cukup pintar, siapa namamu?”

“A-apa?”

Pertanyaannya yang mendadak, menembus ruang pikiranku.


“kau mengatai dirimu sendiri bodoh sejak awal, namun kurasa tidak. Justru kau cukup keren dan cakap untuk remaja seusiamu”. Ia menyunggingkan senyum lalu melirik ke arah peta. “yang berhasil merangkai peta dalam hitungan menit”.


Aku hanya terdiam, tak tahu harus bereaksi bagaimana saat mendengar pengakuan yang keluar dari mulut orang asing, ketika orang yang bahkan sangat kau perhatikan dan perjuangkan dahulu tak pernah mengakui kau ada. Sejenak, ia telah menjinakkan rasa tak amanku.


“ahhhh! aku tahu rasanya aneh setelah kebersamaan kita, aku malah baru menanyakan namamu, bodohnya aku!” Ia terlihat semakin menggeli, pipinya agak mengembung menahan tawa sebelum akhirnya melanjutkan.

“…kau bahkan sempat menamparku tadi?”

Pria itu melirikku dengan ganjil sambil tersenyum.

 Dan itu berhasil menusukku!


Mataku pun membelalak, dalam hitungan detik aku memalingkan wajah dan menelan ludahku sendiri, nyaris bersamaan aku berdiri. Tepat seperkian detik sebelum aku bisa melihat senyumannya yang akan menyilaukan dunia dan membuatku kepanasan sehingga darahku akan mendidih dan akhirnya menguap naik ke pipiku, membuatnya terbakar. Refleks ia mengikutiku berdiri dengan gelagat yang semakin penasaran. Akupun berdehem kecil berusaha menata romanku senormal mungkin sebelum balas menatapnya.

“Tedvia”

Aku rasa sebuah nama takan berarti apa-apa.


“kurasa itu nama yang bagus, kau bahkan mampu berjongkok lama ketika memakai high-heelsmu, wahahahaaaa” ia tertawa ringan, menguarkan reaksi yang ternyata meski perlahan, mampu melemahkan pertahananku, orang ini seolah selalu lihai dalam menemukan kesempurnaan di balik setiap aspek yang konyol tentang diriku.


“Salken namaku Dwingga”. Mendadak tangannya yang terasa hangat dan agak kasar meraih dan meremas tanganku, sehingga aku melihat beberapa urat nadinya yang muncul dari balik kulitnya yang terang. “Lalu berapa usiamu?”


Akupun menghela nafas lemah dan meringis dalam hati, menyadari sesuatu. Aku mempunyai firasat bahwa orang ini akhirnya berhasil menarikku ke jebakannya, dan sekarang ia akan mulai mengintrogasiku, mencoba menggeledahku. Seberapapun rapatnya aku mencoba menutup diri.


“Oh.. baiklah… rupanya kau tidak mau menjawab, jadi.. aku akan mencoba menebaknya”. Pria itu mengerutkan keningnya, memandangi langit-langit sesaat. “..tujuh belas?”


Sontak, akupun melotot setengah heran mendengar akurasi tebakannya.

“Bagaimana kau…?/


“Lihat! Aku yang maha siswa saja bahkan kalah dengan siswi SMA!” Omong-omong aku memang berbakat menebak umur seseorang”. Pria itu mencondongkan tubuhnya berbisik ke telingaku, dan menyunggingkan senyum iseng.


“Dengar, aku memang tak tahu apapun mengenai masalahmu, tapi.. kau tak sebodoh yang kau pikirkan, dan orang lain bilang,” kau mungkin sedang terjebak dalam kebingungan besar sampai-sampai kau mengecap dirimu sangat bodoh, tapi itu tak benar “.Kau selalu bisa membuktikan bahwa mereka salah.” jadi, berhentilah meremehkan dirimu sendiri”.

Aku senewen, rasanya seperti nafasku tiba-tiba terhenti di tengah kerongkongan, dan mataku hampir copot saking terkejutnya. Entah mengapa pria asing di hadapanku ini begitu lihai membacaku sampai-sampai keluar nalar dan membuatku merinding. Seperkian detik saja kata-katanya mampu menyasar dan menembus ulu hatiku. Aku pun mengambil beberapa langkah mundur darinya, menunduk dan membuang muka sungguh berharap ia tak akan mampu lagi membacaku.


Namun, ia tak membiarkanku begitu saja. Pria itu terus mendekat, seolah mencari celah agar bisa membacaku dan menatap lebih dalam ke dalam mataku. Sekarang wajah kami begitu dekat, sehingga aku mampu melihat detail wajahnya, ada sebuah tahi lalat mungil di hidungnya yang mancung, dan senyumannya muram penuh empatik menatapku. Sekarang satu tangan tangkasnya yang agak berbulu merengkuh pundakku membuat pertahananku terjaga secara tiba-tiba, “maaf, aku harus pergi/


“kau tak perlu takut padaku,” karena aku tak akan pernah menyakitimu”. Ia mendongakkan wajahku dengan telunjuknya, memaksaku menatap ke dalam matanya.  Kembali meruntuhkan tembok yang kubangun seketika, sebelum akhirnya ia kembali mengambil jarak dan mulai membelakangiku. “ini mungkin akan jadi kurang sopan atau terkesan sok tahu karena kita baru pertama kali bertemu. Tapi.. sebenarnya aku sempat mengamatimu beberapa menit sebelum akhirnya kau tergelincir dan menabrakku tadi, kau tidak tampak sedang mengejar sesuatu, justru kau seolah berusaha lari dari sesuatu-sesuatu yang mungkin selama ini memburumu. “kau tampak begitu bingung dan kesulitan menentukan arah tujuan atau pelarianmu, kau hanya terus berlari dan kau merasa bodoh akan hal itu”.


Pria itu akhirnya menengok ke belakang dan meliriku dari pundaknya. Ia menghela nafas berat karena mendapati romanku yang semakin abu-abu, sebelum ia berbalik seutuhnya. Menatapku dengan ragu sesaat, mengira inilah saatnya ia berhenti. Dia tak harus meneruskan percakapan ini, dan aku tak kuasa lagi menahan dan terus menghiraukannya. Jadi aku pun memberanikan diri menatapnya meskipun dengan air mata yang hampir menetes, dan memberinya sedikit anggukan, sebagai sinyal bahwa aku telah mengizinkannya. Tak ada lagi yang perlu kusembunyikan sekarang, pria ini telah tahu segalanya bahkan sejak pertama kali melihatku. Ia pun terdiam sejenak dan berdehem kecil sebelum akhirnya melanjutkan pembicaraannya.


“..hingga di saat kau menabrakku, Saat pertama kau tersadar, kau menatapku lama tapi kau tak langsung memulai pembicaraan, sebaliknya kau membuang wajahmu-kau menunduk tapi tatapanmu berkeliaran kemana-mana, seolah kau merasa tak aman”.

Laki-laki itu terdiam sejenak, menghela nafasnya. Sebelum akhirnya kembali berucap.


….”dan,  kau melukai dirimu sendiri” sekarang ia terlihat melirik sesuatu ke sudut, ke tanganku-tanganku yang berdarah. Ia pasti memperhatikannya saat menyalamiku tadi dan seberapapun aku ingin mengumpat, semua itu akan sia-sia.


..Apa lagi alasan yang harus kugunakan untuk menyangkalnya sekarang?


Dikala penjelasan yang hampir-hampir tak masuk akal, namun benar itu telah melemahkan dan merontokan sendiku perlahan lewat setiap frasanya. Rasanya hampir tak mampu percaya dan terlalu menghayal bisa bertemu seseorang yang begitu peka dan lihai dalam membacaku, tanpa perlu berucap, bahkan sejak pertama kali bertemu.

..Apa dia peramal?

 

Tidak tedvia, Jangan konyol! gunakanlah kewarasanmu.

…Barang kali anak psikologi memang sehebat itu

 

Mendadak, pria di hadapanku itu tertawa. “whahaaa, mungkin tepatnya aku memang belajar psikologi bisnis”.

 

APAAAA??!!

 

Seketika bulu kudukku berdiri, dihantam oleh situasi di hadapanku. Tak ada penjelasan lebih lanjut yang mau mengalir ke otakku, kecuali…                

 

 

 

 

 

 

….dia bisa membaca pikiran seseorang! dia benar-benar seorang peramal???


If you like this content, and want to support me, you can Trakteer me👇

                                     https://trakteer.id/deftan

 

 

 



Foot note: [1] Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Batutah adalah seorang alim (cendekiawan) Maroko yang pernah berkelana ke berbagai pelosok dunia pada abad pertengahan. Selain itu ia juga ahli dalam Geografi Islam.

 

[2] Manusia cenderung memulai peradaban dan membangun pemukimannya di daerah-daerah yang berdekatan dengan sumber air, karena lahannya yang gembur dan berpotensi besar untuk dimanfaatkan bercocok tanam, berternak maupun berdagang.

Karma Ageless Bab 1 Barang siapa ingin memplagiasi karya di dokumen ini, sudah ada jejak digitalnya! (Dimohon saling Menghargai Hak Cipta)

Karma Ageless Bab 1 Barang siapa ingin memplagiasi karya di dokumen ini, sudah ada jejak digitalnya! (Dimohon saling Menghargai Hak Cipta)


 ‘‘ Ini tidaklah mudah. Sungguh! Membuka kembali gagasan yang ‘terkutuk’ dan ambivalen. Naskah ini Pusaka tetapi juga Pandora--aib dan luka-yang menunggu kering. Tapi, mungkin memang sudah saatnya aku membuka perbannya dan menunjukkannya dengan bangga.“

‘‘Untuk diriku sendiri aku bangga kepadamu-yang telah bertahan sampai detik ini. Walaupun kau hampir berpaling dan menyerah selama dua tahun belakangan, tapi kau kembali menemukan jalan pulang.. Akan kukalungkan medali ini di lehermu..‘‘

‘‘Terimakasih kepada temanku yang baik Najma-Yang berhasil membuatku tersadar hanya dengan 1 pertanyaan--yang selalu membuatku Percaya dan bertahan akan tujuanku meskipun aku hampir melupakan dan merelakannya dan Alious..pujaan hatiku yang selalu mendukungku, dan untuk seorang teman SMA, yang sangat baik dan supportif, Fendi.. untuk kalian yang telah sangat mendukung dan terlibat menguatkan hari-hariku.. aku berterimakasih. Aku harap kalian bertigalah yang pertama kali bisa membaca dan mengoleksi novel ini di rak buku kalian nantinya..."

"Aku ingin meminta maaf kepada bapak dan Mama.. karena aku selalu sibuk dengan pikiranku dan aku melewatkan banyak sesi pengajian di Pondok… Maafkan aku atas keras kepalaku karena terlalu sibuk dengan duniaku dari pada mengurus bisnis dan membuka toko online… Aku sayang kalian.. 

Doa dan harapan kalian adalah jimat keberuntunganku selama ini..

Untuk masa lalu aku sangat berterima kasih…"


Mimpi ke -12 dan Pertemuan Pertama


Eridug, hari ke-27, Mušuk-Kešda, (6075 SM) 


(Sedangkan Istilah Asli untuk tahun baru sering disebut ‘Nisag’ di Sumeria Kuno)

(Eridug atau Eridu termasuk salah satu kota terawal di Sumeria Kuno, kemungkinan sekarang berlokasi di Abu Shahrein, Irak Modern) 




Semula semuanya terdengar samar dan remang-remang, tapi suara-suara itu semakin kuat dan menusuk telinga. Hiruk-pikuk yang sibuk, seolah berada di tengah-tengah pasar. Malam itu rasanya jasad dan jiwaku terperangkap di ‘ruang‘ yang benar-benar sungguh asing bagiku. Kakiku tersengat oleh sensasi dingin, bahkan efeknya masih mampu kurasakan seminggu kemudian. Suatu pengalaman yang sangat aneh dan sulit terlupakan--karena aku masih mengenakan piamaku lalu sekonyong-konyong batuan lantai jasper kemerahan secara ajaib menghampar di hadapanku, dan aku juga memeluk buku catatan unguku lengkap dengan bolpoin. Jadi, Ya! Tentu saja aku mencatat semuanya. 

Aku mengedarkan pandang berusaha membiasakan penglihatanku, suara riuh itu masih terdengar dari balik pintu gerbang berlapis perunggu dan logam mulia berarsitektur rumit dan mencolok di belakangku. Terpampang lukisan sepasang singa bersayap berkepala manusia yang mencengkram sebuah obor dengan lilitan spiral bercorak kufi, masing-masingnya terletak di sayap gerbang kanan dan kiri.

Akupun mulai mengkaji dengan seksama hal-hal yang ada di sekelilingku, mencicipinya dengan jari jemariku, Semuanya bertekstur dan terasa nyata. 

Mulai dari dinding-dinding terbuat dari bata lumpur kemerahan yang dihias berbagai macam pola geometris. Pilar-pilar marmer raksasa bercorak floral kurma dan dedaunan palma, sampai gambar sepasang domba saling mengaitkan tanduknya yang hitam melengkung, dengan biru bulkat sebagai warna kulitnya. Meskipun catnya sudah terlihat kusam dan pudar.

Jendela-jendela di ruangan itu terbuat dari intan bening. Ada total lima jendela berbentuk lingkaran dengan ukuran yang random, ukuran paling besar di tengah dan yang sedang di atasnya. Ada juga tiga buah lingkaran yang kecil, walau didesain dengan ukuran acak --hal itu tetap mampu menghasilkan kesan estetika. Jendela lingkaran yang paling besar diisi dengan pola mozaik yang membentuk sebuah lukisan wanita cantik, dilukis dari proporsi samping mengenakan anting-anting bulat seukuran lencana dan hiasan kepala rumit yang berlapis. Sedangkan, salah satu dinding di sebelah barat terbuat dari batuan kristal serta ornamen batuan lainnya seperti safir, zamrud, rubi, topaz, calistine dan ametis. Perpaduan dari batu berwarna-warni itu membentuk objek yang menajubkan serupa matahari. 

Terlihat juga ranjang yang dibuat agak tinggi dari kayu, cukup 

kontras dengan desain dan coraknya yang mencolok dengan beragam lukisan dan pola, berkelambu sutra dan berjumbai perak-keemasan. Keempat kaki ranjangnya berbentuk cakar singa yang dilapisi logam mulia. Ruangan itu setara dengan luas aula auditorium rapat kenegaraan.

“Gu-la bisakah kau memerintahkan mereka agar jangan berisik!” 

Gendang telingaku bergetar, terdengar teriakan seorang gadis yang amat kesal. Tapi dengan janggal aku merasa akrab dan familiar dengan suaranya. Beberapa ‘Rudal bantal‘ melayang dan melesat ke arahku, aku merunduk dan melompat menghindarinya bereaksi tepat waktu. 

“B-baik En-Ku-Zi“ (Tuan Yang Murni)       

suara laki-laki menyahut dari balik pintu terdengar bergetar akibat gertakan gadis itu.

“Tuan Yang Murni Zagin-Min Anneyra dan Edin, Salehi-dar (Putra/Keturunan Salehi) yang tangkas memasuki ruangan!” Begitu pengumuman kehadiran dibacakan dengan lantang. Dua sayap pintu terdorong dan perlahan membuka di belakangku, aku menyingkir dari jalan dan bersembunyi di belakang sayap pintu sebelah kanan sebelum pintu terbuka sempurna. Cemas mereka terusik dan terganggu oleh kehadiranku ‘orang asing’ yang tiba-tiba muncul di ruangan privat. Tidak lucu ‘kan? 

Kedua laki- laki yang tampak sebagai penjaga dengan tombaknya membungkuk hormat. Aku mengintip dan mengamati gerak-gerik mereka. Seorang gadis belia berusia belasan namun tampak begitu berwibawa, rambut peraknya sepinggul dijalinkan ke satu bahu, dengan ikat rambut spiral menawan keemasan. Gaun lajuran kaftan dari linen berwarna putih gading, sabuk kain sebiru lazuli berornamen manik-manik obsidian dan emas. Dari sabuknya saja aku sudah bisa menerka seberapa tinggi pangkat gadis itu, warna biru—apalagi sebiru lazuli sejak dahulu adalah warna yang paling langka, itulah yang membuatnya ‘ningrat‘.

Adapun Sepasang anting kerucut spiral, kalung emas dan obsidian yang berlapis-lapis menutupi dada, gelang-gelang berlapis yang serasi dengan kalungnya, Namun, kontras dengan kulitnya yang pucat berseri selayaknya purnama. Hanya semakin menambah aura keagungan gadis belia itu.

Seorang pemuda jakung dengan wajah yang tegas serta sorot mata yang tajam mengekor di belakangnya. Aku tidak bisa menebak umur pastinya, namun pemuda itu terlihat berkisar lima belas sampai tujuh belas tahunan. Tubuhnya dililit kain mirip toga seputih tulang yang dijerat sabuk kain sewarna batu bata dengan ornamen emas. Sedangkan bawahannya mengenakan rok panjang berpola dan berjumbai-jumbai menutupi betis (Kaunakes)

Lengannya sampai bawah sikut di lilit dengan aksesori yang sepertinya terbuat dari surai atau bulu hewan berwarna gelap, kalungnya semerah carnelian berlapis-lapis menjuntai sampai perut, Sementara rambut peraknya terurai lurus sampai ke bahu. 

Suatu kejadian sial karena sesaat rasanya mata kami bertemu. Refleks, aku berpaling terkulai pasrah. Menelaah kemungkinan ia telah memergokiku. Kakiku tak sengaja menyenggol gerabah lilin tanah liat yang diletakan di sudut pintu hingga pecah.

Aku membungkam mulutku sendiri untuk memperlambat nafasku. Hanya irama jantungku dan suara gemerincing gelang kaki yang terdengar semakin mendekat. Aku pasrah dan menelungkupkan kepalaku dalam-dalam menutupi wajahku. Dari celah jemariku, aku bisa melihat sepasang kaki bergelang: Berdiri lama seolah menganalisa, sebelum akhirnya berjongkok mengumpulkan kepingan gerabah dan lilin yang berserakan. Anehnya, ia melakukannya dengan sangat tenang: Tidak ada teriakan atau cercaan penghakiman. Akupun tak kuat lagi dan hampir kehabisan nafas. Terlihat Orang berambut perak lurus sebahu yang tengah fokus mengumpulkan pecahan kendi di hadapanku ketika kudongakan kepala mengambil nafas. Pria jakung tadi! Aku menatapnya lama, ada sebuah intensitas yang tak mampu kujelaskan tentangnya. Selesai dengan kepingan terakhir, pria itu pun balas menatapku lama. Matanya memicing, seolah menelisik dan mencari-cari sesuatu. Gesturnya itu kelewat aneh, sehingga kuberanikan diri mendekat dan menatap pupilnya yang berwarna pirus kecokelatan. keduanya tak kunjung membesar atau terkejut.

Tidak ada Refleksiku!



Literature Segment Chapter 4: DRAMA BACA: Maniak Sains VS Maniak Bahasa By Deftan (Def Tanoshii)

Literature Segment Chapter 4: DRAMA BACA: Maniak Sains VS Maniak Bahasa By Deftan (Def Tanoshii)

Note: Drama Baca ini merupakan terusan Naskah Deftan, yang berjudul Surat Kapal: Surat Untuk Kakek, Literature Segment chapter 3, Klik di sini bagi yang belum membaca kisah sebelumnya. Dan seperti janjiku…

Drama singkat/Drama baca : Maniak Sains vs Maniak Bahasa
Ditulis oleh : Cerpenis-skenarionaris-linguis Dikta Noff.
Diimplementasikan dalam tokoh      : Aku,Ab dan Guru

Catatan : Beberapa adegan dalam drama mungkin lebih didramatisir oleh penulis, cerita dalam drama ini berdasar dari kisah nyata serta pengalaman yang dialami penulis.

illustrasi tokoh :

  • Tokoh 1, Aku: bocah SD kurang lebih berusia 9 tahun, dengan tinggi di atas rata- rata teman sebayanya.
  • Tokoh 2, Ab: bocah laki-laki-albino sejati sejak lahir, rambut agak gondrong sebahu dan tertata rapi halus dengan pomade usia belum genap 10 tahun, tinggi badan lebih pendek daripada tokoh aku.
  • Tokoh 3, Guru/pak Aydan : merupakan laki-laki muda cerdas yang enerjik

Cerita Dimulai :

Aku/penulis :“ Keren… laksana sihir!”  (menanggapi spontan, terpana melihat rekaman video yang disajikan pak Aydan dalam layar digital  lebar yang bening seperti kaca, berpadu dengan dinding kelas yang ber-cat putih)

(rekaman video panorama pantai-pantai, danau yang berpendar-memikat di malam hari, ada juga mata air di dalam gua yang memancarkan cahaya biru hingga hijau terang mengkilau.)

Ab/karib penulis : “Hanya orang-orang Mesopotamia era primitif  yang akan menamai fenomena ini dengan sebutan sihir!" (serunya)

“Tentu saja terdapat alasan ilmiah yang melandasinya, cck, cck!” ( Ab melanjutkan, berdecak dengan roman yang heran, gayanya selalu statis dan tetap dengan tangan menyilang di depan )

Pak Aydan/Guru : ”Baiklah ! kau yang akan menjelaskan asal-muasal, fenomena ini kepada teman-temanmu, Ab!“ (tertawa serak seraya mengacungkan spidol dengan raut menguji,antusias dan sedikit gelisah)

Ab/karib penulis: “ Hahahaha,” mudah saja!”  (Menjawab dengan kekehan sinis, hal ini selalu membuat dirinnya bersemangat, Ab maju ke depan berdiri ke tengah podium kelas)

(Lalu Ab melemparkan sebuah timer berbentuk potongan sandwich yang berdering setiap 8 detik kepada tokoh Aku dari jarak jauh)

(Bruk.. Suara dentuman yang lumayan keras)

(Tokoh Aku menabrak sebuah kursi saat mencoba menangkap benda itu lalu terjatuh, beberapa murid menoleh padanya, belum 5 detik ia duduk bahkan belum sempat berdiri dari tempat, benda itu mengeluarkan bunyi dering yang sangat nyaring seakan menabuh jantungnya bagai rebana, ia mencelos-kaget sementara para murid dan Pak Aydan jadi ikut berjengit-kaget dan senyum-senyum setelahnya  karena reaksinya)

(Ab tersenyum memperhatikannya.)

(Ia beranjak ke tempat duduknya, benda itu terasa empuk, di atasnya terdapat tulisan don’t eat! selai stroberi yang lumer dari slaim sebagai isiannya menunjukan angka-angka yang terus berjalan setiap detiknya ketika dicuil- dalam beberapa saat di bawah terpaan sinar matahari. Matanya refleks takjub ditambah heran mengamati benda itu)

(Kata Ab terdapat unsur kinetika yang bekerja di dalamnya.)

“Bioluminesensi atau disebut juga dengan biopendar adalah suatu emisi cahaya yang dihasilkan dari makhluk hidup akibat reaksi senyawa kimia tertentu, reaksinya sendiri bisa terjadi akibat perpaduan senyawa organik  enzim luciferase dan enzim luciferin(substart) yang bereaksi dengan unsur kimia Co2 /oksigen hasilnya adalah fenomena pendar tersebut meskipun dalam banyak proses lebih melibatkan enzim luciferin ketimbang luciferase”.(Ab menjelaskan dengan lancar meski fokus motoriknya terbagi, secara sistematis melakukan peregangan tubuh keci)

“ Makhluk hidup yang dapat menghasilkan biopendar ada bermacam – macam contohnya serangga seperti kunang-kunang, ada juga yang berasal dari jamur-bahkan spesies cacing tertentu, mikroorganisme dan ubur-ubur”.

“Salah satu bioluminesensi yang dihasilkan dari mikroorganisme berasal dari phytoplankton yang hidup pada bagian Zona Neritik fenomena ini biasanya terjadi di pulau Vaadhoo dijuluki juga sebagai pulau bintang, negara kepulauan Maladewa, yang berlokasi kira-kira 700 km di sebelah barat daya Sri Lanka.”

(seluruh mata di ruang kelas tertuju padanya, di tengah-tengah kagum dan heran.)

(Tak terkecuali Aku dan Pak Aydan, kebanyakan bahkan sangat serius memperhatikan dan fokus pada mulutnya yang berkomat-kamit mulus menjelaskan tanpa terbelit itu. Sebagian ada juga yang jadi gatal kepala sebisa mungkin berusaha mengolah penjelasan ilmiah itu.)

Aku/Penulis : “Bagaiman bisa kau menerangkan dan memperkirakan dengan seyakin itu ? (Bertanya dengan tangan di dagu dan dahi mengkerut, sengaja menunjukan roman yang seolah ragu berganti seringai senyum setelahnya)

Ab/karib penulis : “ ah…  hahaha”  (Ab menangkap maksud tersirat dari perkataan dan roman lawan bicara, lantas spontan terkekeh) kau ini memang sengaja memancingku untuk pamer ya?”

(aku/penulis memutar bola mata, sok mendengus sebal)

(Semuanya fokus pada Ab, tidak terganggu meskipun oleh dering nyaring benda -Sandwich itu. Dan setiap kali benda itu berdering Ab pun mengganti gerakan peregangannya)

Ab/karib penulis :” yaa, sayangnya dulu aku memang pernah terbang langsung ke pulau itu” (Ab mendadak mengubah nada bicara-ekspresinya menjadi sok merendah)

“Sekitar 3 tahun yang lalu, adalah kenangan yang paling membekas di kepalaku, kakekku yang seorang pakar hidrobiologi mengajakku ke sana, tepat perayaan saat aku memasuki sekolah dasar, beliau menjelaskan dan bercerita mengenai semuanya secara detail di bawah kanopi langit hitam yang gemerlap, kami mengarungi perairan gemerlap tersebut dengan perahu dayung, sensasi semilir angin yang bertiup dari arah barat membuai rambutku, itu.. takkan mudah dilupakan .” (roman Ab bertransformasi menjadi senyuman sendu)

(Benda-Sandwich itu telah berhenti berdering.)
(Sekejap, semua orang di kelas semakin terperanjat dan bertambah antusias)

Ab/karib penulis : “saat usiaku 5 tahun kami juga pernah menjelajahi kedalaman dan keanggunan pesisir pasifik, perairan pasifik sebelah utara dekat dan berbatasan langsung dengan Alaska dan juga Hawaii menaiki kapsul selam berkapasitas 3…? (Ab ragu-ragu, kepalanya ditelengkan mencoba mengingat) bukan, keliru !, itu kapasitas kapal selam hanya untuk berdua saja, tapi waktu itu aku memang dipangku oleh beliau.” (Ab tertawa bernostalgia)

“Setelah memasuki Zona Oseanik, bagian Batipelagik pada kedalaman kurang lebih 1000 hingga 4000 m dibawah permukaan laut disitulah pertama kalinya aku menyaksikan dengan mata kepalaku fenomena sains menabjubkan itu” (mata Ab penuh binar, seakan ia benar-benar bisa kembali pada kejadian 5 tahun silam itu) emisi cahaya hijau terang kebiruan dari ubur-ubur kristal, pendar-pendar tersebut dihasilkan dari reaksi percampuran protein-protein.” 

(Beliau menyebut nama animalia ini Aequorea Victoria sesuai nama genusnya Aequorea, itu adalah sebutan binomial yang pertama kali kudengar sekaligus animalia dari kelas hydrozoa yang pertama kali kulihat. (Ab sedikit melakukan gerakan peregangan lengan dan bahu)

(Semua orang bertepuk tangan atas kisah petualangannya.)
(Tokoh Aku turut bertepuk tangan memberi senyum seringai, tak menaruh heran.)

Aku/penulis : “apa frasa itu berasal dari latin?”  (bertanya dengan penasaran)

Ab/Karib penulis Ya, betul kau tak meleset semili-meter pun, dalam taxonomy, Bionomial nomenclature atau memang didefinsikan juga sebagai suatu sistem formal untuk penamaan sebuah spesies makhluk hidup yang pada umumnya  memang menggunakan tata-kebahasaan latin.”

(Pak Aydan memasang raut bangga, Semua orang memang selalu berhasil dibuat terkesima oleh keluasan ilmu pengetahuan Ab, bocah kelas 3 SD yang berusia belum genap 10 tahun itu)

“Bukannya bermaksud  pamer, sih (dengan raut sok merendah yang mulai sinis) , pasalnya ada salah satu rekan kakekku yang mengaku berasal dari Jerman mengeja namaku dengan salah, (gelagatnya terasa semakin mengejek) ia memanggilku dengan sebutan ‘Iana’  seperti perempuan , itu sejuta kuadrat melenceng padahal aku masih termasuk genus maskulin dan namaku Yana, Adnyana Nur Abra bukan I- (dialog terpotong)

Aku/penulis “pernyataanmu itu seperkian detik saja bisa langsung memerahkan pipimu, pak!” (dengan gemas tiba-tiba bangkit mendebat lawan bicara , tangan disilangkan di depan dada menghampiri Ab)

Ab/Karib penulis“Hah..?” (Ab berpikir sebentar, keningnya mengkerut, masih belum setuju)

Aku/penulis : “kejadiannya akan sama seperti seandainya kau memelesetkan fakta bahwa Einstein bukan orang kelahiran jerman” (dengan sengaja, selalu,mulai berbicara memakai ungkapan yang sulit dicerna secara langsung  bagi kebanyakan orang yang belum terbiasa meladeninya)

(Seisi ruangan hening, hanya menanggapi dengan kerutan alis. Muka mereka jadi agak gusar)
(Ab tercekik menelan ungkapan paradoksnya, romannya abu-abu.)

Ab/Karib penulis : (menghela napas lalu terkekeh) “ya.. kau bisa langsung to the point saja, Nak !” (sambil mengusap wajahnya)

Aku/penulis : (Dengan senang hati menjelaskan) “Penutur asli Bahasa tersebut menyebut huruf  ‘ Y’  dengan Ypsilon cara pelafalannya memang menggunakan bunyi ‘I’ ,sebagai contoh “Ysabelle” maka dibaca Isabelle” (memperagakan dengan jari seolah-olah seperti menulis)

Hah…?!!!! ,benarkah ?! ” (semuanya serentak terperanjat)    

(Tokoh  Aku mengangguk mantap)

“Ya…., kurasa nasibku memang bukanlah terlahir sebagai master yang menguasai hampir 10 Bahasa Asing”  (nada bicaranya agak tercekat, meskipun begitu ia tetap tersenyum mengakui kelemahannya, mengangguk bangga pada karib dekatnya itu)

(Semua orang sesaat saling berpandangan, namun, mereka serentak tertawa terhibur. dalam benak mereka berpikir bahwa ternyata seorang Ab pun bisa salah juga)

Ab/karib penulis : “ Masen-masen”  (menggumamkan kata dalam Bahasa asing sambil melakukan gerakan serupa Ojigi /membungkukkan badan dalam adat jepang)

Aku/penulis : “ Itu ´すみません‘ Su- mi – ma- sen(ng)(V)  bukan ませんません’ Ma-sen-ma-sen (X)”  artinya maaf,”
                                                   
(Menjelaskan sambil menulis di papan tulis- kemudian merangkul gemas lawan bicara secara mendadak)

(Salah satu siswa bersorak) “ Woi.. dia salah lagi!”

(semua orang terlonjak, beberapa detik kemudian, tawa mereka membahana ke seisi kelas mereka terhibur.)

Ab/karib penulis : Kau...Jangan begitu! lepaskan aku !,”  aku lebih tua 6 bulan darimu !”  (Ab memberontak mencoba melepaskan diri)

(Pak Aydan tersenyum menghampiri tokoh Aku dan Ab.)

Pak Aydan/Guru : “Kalian,  Maniak Sains dan Maniak Bahasa seperti prinsip Yin dan Yang suatu sifat yang saling berlawanan di dunia ini, namun, ada untuk saling melengkapi dan membangun satu sama lain.” (Pak Aydan berpidato menghentikan kegaduhan)

“Ilmu pengetahuan tentang seluruh alam semesta ini takkan mungkin bisa tersalurkan dan diceritakan, tumbuh dan menyebar tanpa adanya Bahasa begitu pula sebaliknya Bahasa tercipta karena lahirnya orang-orang pemikir, tepatnya adalah orang-orang yang mau berpikir, yang terus mengembangkannya menjadi disiplin ilmu baru” . Aswad Ad-Duali, J.R.R Tolkien, Raja Ali Haji adalah salah tiga tokoh yang berkontribusi dalam bidang tersebut.” (Pak Aydan menepuk pundak Ab dan tokoh Aku)

(Salah satu murid perempuan bersorak) “mereka bertiga adalah idola Dikta dan kami semua !” 

“Intinnya! Tidak peduli lagi seberapa besar celah kekurangan dan kelemahan kalian,” kalian harus bangga dan berpegang teguh untuk selalu mengembangkan potensi kalian dan berjuang membangun negara!” (Pak Aydan dengan penuh binar dan harapan di matanya, berhasil memacu dan membakar semangat semua muridnya)

“Kalian harus bersinar dan mulai berani mengepakkan sayap !”

(Dering bel pergantian kelas menggema bersamaan sorak semangat dan tekad dari murid-murid serentak.) “Yo!!!”

                                                            ~Tamat~


Demikianlah suguhan drama singkat karya Sang cerpenis-skenarionaris-linguis, Dikta Noff.
Oh, ya Kau boleh menyampaikan kritik dan saran mengenai karyaku di balasan surat selanjutnya kakek 😊

---------------------------

If you like this story and want to support me, you can trakteer me in the link below 👇

[1] Mesopotamia (dari bahasa Yunani Kuno: Μεσοποταμία: tanah di antara sungai-sungai; bahasa Arab: بلاد الرافدين (bilād al-rāfidayn); bahasa Suryani: ܒܝܬ ܢܗܪܝܢ (Beth Nahrain): "tanah dari sungai-sungai" terletak di antara dua sungai besar, Efrat dan Tigris. Daerah yang kini menjadi Republik Irak itu pada zaman dahulu disebut Mesopotamia, yang dalam bahasa Yunani berarti "(daerah) di antara sungai-sungai".
Mesopotamia - Wikipedia

[2] Nama fitoplankton diambil dari istilah Yunani, phyton atau "tanaman" dan πλαγκτος ("planktos"), berarti "pengembara" atau "penghanyut".[1] Sebagian besar fitoplankton berukuran terlalu kecil untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Akan tetapi, ketika berada dalam jumlah yang besar, mereka dapat tampak sebagai warna hijau di air karena mereka mengandung klorofil dalam sel-selnya (walaupun warna sebenarnya dapat bervariasi untuk setiap spesies fitoplankton karena kandungan klorofil yang berbeda beda atau memiliki tambahan pigmen seperti phycobiliprotein).
Fitoplankton - Wikipedia

Advice From Deftan,  meskipun drama baca ini hanyalah fiksi, tetapi kita dapat menarik moral dari kisah ini. Turunkan ego, kita ada bukan hanya untuk bersaing, membuktikan siapa yang lebih baik, lebih hebat atau lebih pintar, tetapi lebih dari itu untuk saling berkontribusi, dalam bidang apapun yang nanti akan kalian geluti untuk mencapai tujuan yang sama. Yaitu kehidupan kita, dan Indoesia yang lebih baik. Stay Love and Peace, untuk kalian semua.  Drama baca ini cuma penyemangat, bagi kalian yang sedang menghadapi the real kehidupan. Jadi keinget Quotesnya J.R.R Tolkien, salah satu penulis favorit aku. "terkadang manusia terkecil sekalipun, mampu mengubah dunia". Jadi, tetap semangat... jangan insecure, percaya pada diri kalian sendiri dan semua harapan, cita-cita kalian pasti akan tercapai. Siapa pun kalian, apa pun pekerjaan kalian, sekecil apa pun kalian, selemah apa pun kalian, tetap selalu dibutuhkan untuk negara ini, terutama bagi orang-orang di sekitar kalian. Semuanya memiliki peran masing-masing, jadi ayo maksimalkan peran kalian. lalu dibawah ini aku akan menjelaskan beberapa Fakta Unik dari Tokoh-Tokoh Kali Ini....

Bonus :

1. Tokoh Dikta
memiliki Nama Lengkap Dikta Noffin, meskipun dikagumi dan dinilai sebagai Jenius-Bahasa oleh teman-teman dan kebanyakan gurunya, karena pengetahuannya dan mampu menguasai, hingga lancar berkomunikasi hampir dengan 10 bahasa yang berbeda dalam usia muda, serta beberapa bahasa kuno lainnya. Tapi ia memiliki kelemahan yang sangat menonjol di antara teman-temannya, yaitu gangguan memori Jangka Pendek/ Dory Syndrome dan dalam perhitungan Matematika. Kelemahannya ini, menuntutnya untuk selalu menulis dan mencatat apa saja hal yang telah ia lakukan, dan dilaluinya setiap hari. Sementara Ab adalah lawan dari Dikta.

2. Dikta dan Ab
meskipun mereka memiliki passion dan ketertarikan yang berbeda. Tetapi mereka adalah karib dekat, dan sangat lengket. Pernah, dikisahkan suatu malam Ab, menginap di rumah Dikta dan menonton Film Star-Wars yang baru di remake dan diluncurkan kembali pada tahun tersebut, meskipun mereka berdua disibukkan oleh kesibukan dan ketertarikan yang berbeda. Ab sibuk mengamati film, dan benar-benar serius menganalisis cara kerja radar-radar di pesawat ruang angkasa yang ada dalam film tersebut, dan bagaimana fungsinya jika seandainya diterapkan dalam kehidupan nyata. kemudian ia mulai mengomel dan mengoceh ketika ia mulai mendapati celah kesalahan dalam film tersebut. Sedangkan Dikta sibuk menghafal nama-nama dari setiap karakter dalam film tersebut, lalu membuat permainan kata dengannya. 

Contoh Illustrasi Dikta & Ab

3. Tokoh Ab anak pertama N.R Tedvia? 
Jadi begini ceritanya.... klik disini, kalau kalian belum paham siapa itu TedviaAb memiliki nama lengkap Adnyana Nur Abra, sedangkan Tedvia memiliki nama lengkap Tedvia Nur  Roselie, setelah kisah yang disebutkan dalam Karma, Tedvia memutuskan untuk mengejar mimpinya, ia melanjutkan pendidikan di fakultas perfilman dan bekerja sebagai penulis skenario di berbagai proyek film. Suaminya bernama Dwingga Abra Dintara yang merupakan pembisnis dari salah satu brand ternama, dan perusahaannya kerap kali menyeponsori berbagai penelitian.

4. Tokoh Ab mewarisi kejeniusan Kaum Ageless, leluhur Tedvia.
    Penggambaran tokoh Ab, yang albino memiliki kulit pucat dan rambut putih keperakkan, merupakan anugerah dan kutukan bagi tokoh Ab dan Tedvia. Karena hal tersebut, Ab kerap kali mengalami bulying oleh teman sebayanya, semasa TK. Tedvia, yang merasa khawatir pernah membujuk putranya berkali-kali agar mau suntik pigmen, agar menciptakan sel pigmen melanin, atau warna kulit di tubuh putranya. Sehingga ia juga tidak akan terlalu kepanasan lagi apa bila di luar ruangan. Tetapi hal itu ditolak tegas oleh Ab, ia berpendapat bahwa ia tidak mau mengubah penampilan atau fisiknya hanya karena cemooh teman-temannya, ia menegaskan bahwa teman-temannya membulinya karena kelewat bodoh dan mereka tidak mampu menghargai perbedaan, karena keangkuhan mereka, mereka bahkan tega menghinanya dan itu sama saja menghina ciptaan tuhan "bukankah tuhan telah menciptakan kita sebaik-baiknya? bukankah akan jauh lebih banyak orang-orang  yang menerimaku apa adanya?" kalian semua?" pertanyaan Retoris itu akhirnya membungkam Tedvia. 

5. Tokoh Ab mempunyai adik perempuan
Ab mempunyai adik perempuan bernama Tara yang lebih muda 3 tahun. Tara memiliki penampilan yang berbeda dengan Ab, rambutnya sehitam Tedvia, ibunya dan memiliki ketertarikan yang sama dengan ibunya. Sifatnya juga penberani seperti ibunya. Ia bahkan pernah melindungi Ab ketika sedang dibuly.