Special Reliased: Karma Bagian Dua: Gondrong dan Manis
Chapter 5 Fantasy Fiction Literature Segment![]() |
| Image: Dwingga & Tedvia |
Selayaknya
anak kecil yang tak pernah tumbuh, kenaifanku selalu menuntunku pada kesalahan,
membuatku selalu ceroboh dan melupakan hal sepele yang penting. Ada beberapa peraturan
yang perlu kau waspadai kala kau berusaha lari dari musuh yang mencoba memangsamu,
dan kau tidak boleh gagal melakukannya. Karena ini sebuah momentum yang mempertaruhkan
nyawamu:
1. 1. Perhatikanlah
pijakanmu, Jangan sampai kau terpeleset dan terjatuh.
2. 2. Berhati-hatilah
pada perangkap singa, setelah kau lolos dari perangkap harimau.
3. 3. Jangan
memakai high-heelsmu ketika kau mencoba lari dari musuh.
Dan sialnya, aku mengabaikan peraturan itu.
Jadi aku harus menerima konsekuensiku. aku memejamkan mataku pasrah selepas beberapa detik memandangi kertas-kertas
yang berhamburan ke udara sampai akhirnya kembali jatuh ke lantai-menyiapkan mental,
hati dan pikiran atas segala skenario terburuk yang patut kuterima, dan tentu
saja aku juga harus siap merasakan sakit-kala tubuhku atau kepalaku nantinya
remuk membentur lantai. Setidaknya itu bisa benar-benar meakhiri penderitaanku,
jikalau itu memang terjadi pada kepalaku. Setidaknya aku berdo’a.
…itu yang akan benar-benar terjadi.
“AKU MENANGKAPMU!!”
Namun, semua harapan dan spekulasiku
akhirnya dikacaukan oleh teriakan seseorang yang serak, terengah-engah, yang
menusuk tepat ke gendang telingaku. Aku membuka mata dan… duar!
Sekarang
sosok seorang pria asing setengah melotot sedang memandangiku. Aku bahkan bisa
merasakan nafasnya yang menderu tidak teratur, seolah-olah ia sangat takut sesuatu
yang buruk terjadi padaku.
Aku balas melotot mengerutkan dahi heran terhadapnya,
bersamaan aku beranjak berdiri. Ia mulai mengendorkan cengkraman tangannya dari
pinggangku lalu perlahan melepaskannya-tanpa mengalihkan tatapannya sejengkalpun
terhadapku.
Dia…
Dari mana orang asing ini datang, dan
bagaimana bisa ia terlihat sepeduli itu?
Atau..
apakah
kita saling mengenal sebelumnya?
Mengapa aku bisa merasa sefamiliar ini
terhadapnya?
Dan
entah mengapa ini terlalu sulit dijelaskan, sampai-sampai membuatku merasa mual.
“ M-maaf, a-apa aku mengenalmu? Apa kakimu
terkilir/
“Bodoh!”
Sial aku rasa Seberapapun kerasnya aku berusaha
menahan kata itu agar tak meluncur ke otakku dan terjun bebas dari mulutku hingga
akhirnya menjadi kebiasaan yang buruk, semuanya akan tetap sia-sia. Karena
mereka akan terus mencari jalannya sendiri.
“Apa kau bilang?!” Pria gondrong berkaos oblong itu
tertawa parau. “kau tidak lihat, aku telah menyelamatkanmu. Kau hampir
tergelincir tadi. Kaulah yang menabraku duluan”. Tadi kau berlari.. lari.. sangat cepat,
meliuk lalu terpleset oleh sepatu higheelsmu, hingga kau menabraku!"
Aku membiru menelan ludahku sendiri, kurasa
sangat tak bijaksana memulai pertengkaran dengan seseorang yang baru kutemui kala
ia bahkan berasumsi sebagai penyelamatku.
Aku berdehem sejenak lalu menunduk di
hadapannya, sebisa mungkin menunjukan rasa terima kasihku. “Maaf! Aku mengatai
diriku sendiri”, terima kasih telah menyelamatkanku."
Lagipula orang asing tak perlu tahu
masalahku.
“apa? Mengapa kau membodoh-bodohkan dirimu
sendiri?!”
Respons
selanjutnya luar biasa nan mengejutkan, karena pria itu malah membelalak dengan
penuh empati memandangiku.
Ia tersenyum lembut padaku, membuat
betapapun usahaku agar bersikap dingin dan mengacuhkannya jadi sia-sia. Mengapa?
Lagi pula pria asing ini tidak berhak mengetahui apapun tentangku, dan aku tak
ingin berlama-lama hingga akhirnya dia
mengintrogasiku.
Namun sekuel selanjutnya selalu di luar
dugaan, ia sontak menggeleng dan masih terus saja tersenyum ganjil bersamaan
tangannya mulai merapikan kekacauan yang telah kuperbuat. Ia terlihat
mencari-cari sesuatu mengedarkan pandangannya ke sekeliling lalu memungut
sebuah papan besar yang terlempar cukup jauh dari
tempat kami berdiri. Ia mulai dengan
lihai mengambil beberapa kertas dan meletakannya ke atas papan. Aku yang
melihat usahanya pun berusaha mempertahankan sisi empatik dan kesantunanku. Aku
memungut beberapa kertas dan menyadari sesuatu bahwa ternyata itu merupakan potongan-potongan
peta sebuah wilayah.
Apakah ini semacam kolase?
Aku
membatin dalam hening, berjongkok mendekati laki-laki itu. Ia tampak serius
sekali berusaha menyusun potongan-potongan kertas itu hingga dia mengabaikanku.
Merasa tak tahan dengan objek yang kulihat, akhirnya otakku turut
berpartisipasi berusaha memecahkan teka-teki itu. Aku mengamati benda itu dari ujung
kiri ke kanan, atas ke bawah, mulai menganalisis akan segala kemungkinan kolerasi
yang paling logis. Bagian tengah papan telah terisi oleh beberapa bidang
wilayah. Sebagian kecil wilayah berwarna kuning kecoklatan dengan garis
hijau melengkung di atasnya diawali oleh huruf S dan Y, laut kematian di barat
dan Irak di timur, lalu ujungnya melancip ke bagian bawah berindikasikan sebuah
wilayah yang berawalan kata ‘Sau’. Turki di barat laut. Sedangkan wilayah
lainnya masih kosong. Bukannya wilayah itu berdektan dengan Mediterania….?
Detik demi detik otakku selalu berjalan. Mengirimkan
sinyal tentang abstraksi-abstraksi visual dan menyusunnya, mencari-cari
gambaran yang familiar, sampai akhirnya menemukannya. Semuanya bekerja begitu
cepat dan mudah di otakku, akibat kebiasaan. Tanganku pun mulai mengimbangi
kecepatan pikiranku. Dalam beberapa saat aku bisa bersyukur, karena merangkai
peta sepele seperti ini sensasinya sama dengan liburan masa tegang beberapa
bulan setelah lulus.
“…WHOAA!!”
Seharusnya aku juga tak berharap
banyak, karena ketenanganku tak akan pernah bertahan lama. Dihantam oleh hingar-bingar
pria over antusias di sisiku.
Bagaimana tidak, ia terus membelalak dan
berteriak ke telingaku hampir-hampir membuatku tuli. Spontan, tak ada lagi yang
patut kulakukan kecuali menamparnya lumayan keras, berharap hal itu bisa memulihkan
kewarasannya yang sempat hilang.
“maaf!”
“Apa mungkin kau itu cicitnya Ibnu batutah[1]?
Jenius Geografi yang mampu merangkai kolase peta hanya dalam beberapa menit!?” Pria
itu justru tak menghiraukanku, ia mengerjap-ngerjapkan matanya, menatap layar handphone,
menatap peta kemudian wajahku berulng kali. Sampai-sampai membuatku bingung
sendiri, harus tertawa sombong penuh kebanggaan atau justru bergidik ngeri
karena tingkahnya. “Woooow!! whahahahaaaa! Bagaimana bisa?! Ini sama persis!”
bahkan sejauh ini rekor waktu tercepat yang pernah kuhabiskan adalah 15 menit”.
Aku menggeleng, menghela nafas panjang.
“Itu tak sesulit yang kau pikirkan, dan tak
ada yang spesial.” Aku hanya mampu melakukannya dengan banyak latihan.” Ini
peta wilayah Mesopotamia, dan wilayahnya masih sangat sederhana.” Aku yakin kau
juga bakal bisa menyusunnya dengan mengedintifikasi dan memahami warnanya. ”Warna hijau di peta berarti wilayah
subur, sedang putih tulang sampai kuning kecokelatan mempresentasikan wilayah
gurun.” Wilayah-wilayah yang subur cenderung dialiri Sungai-sungai sebagai
suplai air utama”. Lingkungan seperti ini sangat menguntungkan bagi populasi
Masyarakat untuk membuka pemukiman, lahan pertanian, berternak sampai dimanfaatkan
untuk jalur lintas perdagangan,” Sungai-sungai tersebut tentunya memiliki
wilayah hulu atau sumbernya yang umumnya terletak di wilayah-wilayah
pegunungan”. Kubiarkan jari-jariku
menjadi pemandu menelusuri wilayah-wilayah yang signifikan pada peta, sebelum
akhirnya berhenti di sebuah titik kursial, Pegunungan Taurus di sebelah utara.
“dan setiap Sungai akan selalu memiliki
muaranya, entah itu mengalir ke laut, danau, maupun teluk”. Kini jariku
menelusuri salah satu garis sejajar yang membentang dan berhenti pada sebuah
titik di Selatan, Teluk Persia. Jadi kau hanya perlu memperhatikan tanda-tanda
geografisnya dengan seksama”. Pria itu tampak begitu serius menaruh perhatian, jadi aku memutuskan melanjutkan
penjelasan.
“Hal
serupa juga terjadi pada deretan panjang Sungai Nil, anak sungainya bermula di
Jinja, Danau Victoria, meski kemungkinan kebenarannya masih banyak
diperdebatkan dan hilirnya bermuara ke Laut Mediterania yang ada di sebelah timur
la/
“Aku mengerti! jadi singkatnya..” pria itu
mengerutkan dahinya sesaat, tampak berpikir. “Sungai Eufrat dan Tigris yang
mengapit Mesopotamia bermula dari pegunungan Taurus di wilayah Anatolia dan
Turki, ia terus mengalir membuat daerah-daerah yang dilaluinya subur dan penuh
potensi[2],
sebelum akhirnya bermuara ke Teluk Persia?”
Pria itu menelusuri ulang wilayah-wilayah
pada peta dengan jemarinya, dengan cekatan mengulangi materi pembelajaranku. Refleks
aku membalasnya dengan senyum dan anggukkan, meskipun itu berarti aku terpaksa
menggigit bibir setelahnya karena telah menunjukkan emosiku. Namun layaknya
kata pepatatah, airpun perlahan-lahan mampu mengikis sebongkah batu, orang dihadapanku
ini selalu saja tersenyum-menyipitkan matanya dan membalasku dengan tulus.
“Hei.. aku rasa kau cukup pintar, siapa
namamu?”
“A-apa?”
Pertanyaannya yang mendadak, menembus ruang
pikiranku.
“kau mengatai dirimu sendiri bodoh sejak
awal, namun kurasa tidak. Justru kau cukup keren dan cakap untuk remaja
seusiamu”. Ia menyunggingkan senyum lalu melirik ke arah peta. “yang berhasil merangkai
peta dalam hitungan menit”.
Aku hanya terdiam, tak tahu harus bereaksi
bagaimana saat mendengar pengakuan yang keluar dari mulut orang asing, ketika
orang yang bahkan sangat kau perhatikan dan perjuangkan dahulu tak pernah
mengakui kau ada. Sejenak, ia telah menjinakkan rasa tak amanku.
“ahhhh! aku tahu rasanya aneh setelah
kebersamaan kita, aku malah baru menanyakan namamu, bodohnya aku!” Ia terlihat
semakin menggeli, pipinya agak mengembung menahan tawa sebelum akhirnya
melanjutkan.
“…kau bahkan sempat menamparku tadi?”
Pria itu melirikku dengan ganjil sambil tersenyum.
Dan itu
berhasil menusukku!
Mataku pun membelalak, dalam hitungan detik
aku memalingkan wajah dan menelan ludahku sendiri, nyaris bersamaan aku berdiri.
Tepat seperkian detik sebelum aku bisa melihat senyumannya yang akan
menyilaukan dunia dan membuatku kepanasan sehingga darahku akan mendidih dan
akhirnya menguap naik ke pipiku, membuatnya terbakar. Refleks ia mengikutiku
berdiri dengan gelagat yang semakin penasaran. Akupun berdehem kecil berusaha
menata romanku senormal mungkin sebelum balas menatapnya.
“Tedvia”
Aku rasa sebuah nama takan berarti apa-apa.
“kurasa itu nama yang bagus, kau bahkan
mampu berjongkok lama ketika memakai high-heelsmu,
wahahahaaaa” ia tertawa ringan, menguarkan reaksi yang ternyata meski perlahan,
mampu melemahkan pertahananku, orang ini seolah selalu lihai dalam menemukan
kesempurnaan di balik setiap aspek yang konyol tentang diriku.
“Salken namaku Dwingga”. Mendadak tangannya
yang terasa hangat dan agak kasar meraih dan meremas tanganku, sehingga aku
melihat beberapa urat nadinya yang muncul dari balik kulitnya yang terang. “Lalu
berapa usiamu?”
Akupun menghela nafas lemah dan meringis
dalam hati, menyadari sesuatu. Aku mempunyai firasat bahwa orang ini akhirnya
berhasil menarikku ke jebakannya, dan sekarang ia akan mulai mengintrogasiku,
mencoba menggeledahku. Seberapapun rapatnya aku mencoba menutup diri.
“Oh.. baiklah… rupanya kau tidak mau
menjawab, jadi.. aku akan mencoba menebaknya”. Pria itu mengerutkan keningnya,
memandangi langit-langit sesaat. “..tujuh belas?”
Sontak, akupun melotot setengah heran mendengar
akurasi tebakannya.
“Bagaimana kau…?/
“Lihat! Aku yang maha siswa saja bahkan
kalah dengan siswi SMA!” Omong-omong aku memang berbakat menebak umur
seseorang”. Pria itu mencondongkan tubuhnya berbisik ke telingaku, dan menyunggingkan senyum iseng.
“Dengar, aku memang tak tahu apapun
mengenai masalahmu, tapi.. kau tak sebodoh yang kau pikirkan, dan orang lain
bilang,” kau mungkin sedang terjebak dalam kebingungan besar sampai-sampai kau
mengecap dirimu sangat bodoh, tapi itu tak benar “.Kau selalu bisa membuktikan
bahwa mereka salah.” jadi, berhentilah meremehkan dirimu sendiri”.
Aku senewen, rasanya seperti nafasku
tiba-tiba terhenti di tengah kerongkongan, dan mataku hampir copot saking
terkejutnya. Entah mengapa pria asing di hadapanku ini begitu lihai membacaku
sampai-sampai keluar nalar dan membuatku merinding. Seperkian detik saja
kata-katanya mampu menyasar dan menembus ulu hatiku. Aku pun mengambil beberapa
langkah mundur darinya, menunduk dan membuang muka sungguh berharap ia tak akan
mampu lagi membacaku.
Namun, ia tak membiarkanku begitu saja.
Pria itu terus mendekat, seolah mencari celah agar bisa membacaku dan menatap lebih
dalam ke dalam mataku. Sekarang wajah kami begitu dekat, sehingga aku mampu
melihat detail wajahnya, ada sebuah tahi lalat mungil di hidungnya yang
mancung, dan senyumannya muram penuh empatik menatapku. Sekarang satu tangan
tangkasnya yang agak berbulu merengkuh pundakku membuat pertahananku terjaga
secara tiba-tiba, “maaf, aku harus pergi/
“kau tak perlu takut padaku,” karena aku
tak akan pernah menyakitimu”. Ia mendongakkan wajahku dengan telunjuknya,
memaksaku menatap ke dalam matanya. Kembali
meruntuhkan tembok yang kubangun seketika, sebelum akhirnya ia kembali
mengambil jarak dan mulai membelakangiku. “ini mungkin akan jadi kurang sopan atau
terkesan sok tahu karena kita baru pertama kali bertemu. Tapi.. sebenarnya aku
sempat mengamatimu beberapa menit sebelum akhirnya kau tergelincir dan
menabrakku tadi, kau tidak tampak sedang mengejar sesuatu, justru kau seolah
berusaha lari dari sesuatu-sesuatu yang mungkin selama ini memburumu. “kau tampak
begitu bingung dan kesulitan menentukan arah tujuan atau pelarianmu, kau hanya
terus berlari dan kau merasa bodoh akan hal itu”.
Pria itu akhirnya menengok ke belakang dan meliriku
dari pundaknya. Ia menghela nafas berat karena mendapati romanku yang semakin
abu-abu, sebelum ia berbalik seutuhnya. Menatapku dengan ragu sesaat, mengira
inilah saatnya ia berhenti. Dia tak harus meneruskan percakapan ini, dan aku
tak kuasa lagi menahan dan terus menghiraukannya. Jadi aku pun memberanikan
diri menatapnya meskipun dengan air mata yang hampir menetes, dan memberinya
sedikit anggukan, sebagai sinyal bahwa aku telah mengizinkannya. Tak ada lagi
yang perlu kusembunyikan sekarang, pria ini telah tahu segalanya bahkan sejak
pertama kali melihatku. Ia pun terdiam sejenak dan berdehem kecil sebelum
akhirnya melanjutkan pembicaraannya.
“..hingga di saat kau menabrakku, Saat
pertama kau tersadar, kau menatapku lama tapi kau tak langsung memulai
pembicaraan, sebaliknya kau membuang wajahmu-kau menunduk tapi tatapanmu
berkeliaran kemana-mana, seolah kau merasa tak aman”.
Laki-laki itu terdiam sejenak, menghela
nafasnya. Sebelum akhirnya kembali berucap.
….”dan, kau melukai dirimu sendiri” sekarang ia terlihat
melirik sesuatu ke sudut, ke tanganku-tanganku yang berdarah. Ia pasti
memperhatikannya saat menyalamiku tadi dan seberapapun aku ingin mengumpat,
semua itu akan sia-sia.
..Apa lagi alasan yang harus kugunakan
untuk menyangkalnya sekarang?
Dikala penjelasan yang hampir-hampir tak
masuk akal, namun benar itu telah melemahkan dan merontokan sendiku perlahan
lewat setiap frasanya. Rasanya hampir tak mampu percaya dan terlalu menghayal
bisa bertemu seseorang yang begitu peka dan lihai dalam membacaku, tanpa perlu
berucap, bahkan sejak pertama kali bertemu.
..Apa dia peramal?
Tidak tedvia, Jangan konyol! gunakanlah
kewarasanmu.
…Barang kali anak psikologi memang sehebat
itu
Mendadak, pria di hadapanku itu tertawa. “whahaaa,
mungkin tepatnya aku memang belajar psikologi bisnis”.
APAAAA??!!
Seketika bulu kudukku berdiri, dihantam oleh situasi di hadapanku. Tak
ada penjelasan lebih lanjut yang mau mengalir ke otakku, kecuali…
….dia bisa membaca pikiran seseorang! dia benar-benar seorang peramal???
If you like this content, and want to support me, you can Trakteer me👇
Foot note: [1]
Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Batutah adalah seorang alim
(cendekiawan) Maroko yang pernah berkelana ke berbagai pelosok dunia pada abad
pertengahan. Selain itu ia juga ahli dalam Geografi Islam.
[2]
Manusia cenderung memulai peradaban dan membangun pemukimannya di daerah-daerah
yang berdekatan dengan sumber air, karena lahannya yang gembur dan berpotensi besar
untuk dimanfaatkan bercocok tanam, berternak maupun berdagang.



